Heechul POV
“Apa? Hankyung dan Siwon masuk rumah sakit? Bagaimana bisa?” ujarku tak percaya.
“Mentalnya lemah sehingga kesehatan mereka menurun.” Ujar Leeteuk hyung padaku.
“Mental lemah? Apa maksudnya?” ujarku semakin panik mengengarnya.
“Iya. Aduh, bagaimana menjelaskannya ya? Tenang dululah kau ini.” Ujar Leeteuk hyung yang tampak bingung.
“Mereka Cuma banyak pikiran saja kok. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.” Ujar Eunhyuk mencoba menenangkanku.
“Tak perlu khawatir kau bilang? Dua sahabatku masuk rumah sakit dan aku tak perlu khawatir? Lucu sekali?” ujarku sebal mendengar jawaban Eunhyuk.
“Memang tak ada yang perlu dikhawatirkan. Tenang sajalah.” Ujar Leeteuk hyung padaku.
“Aku tak mengerti dengan jalan fikir kalian. Sudah berapa lama mereka dirawat?” tanyaku.
“Hm… aku tak tahu pasti. 1 atau 2 bulan kurang lebih.” Ujar Leeteuk hyung mencoba santai.
Aku kaget bukan main dibuatnya.
“Selama itu? Selama itu mereka dirawat dan aku baru tau sekarang?” ujarku sedikit histeris.
“Ah, jangan histeris begitu. Kau harus tetap tenang.” Ujarnya sambil menyodorkan secangkir kopi padaku.
Aku pun tertunduk. Kaget sekali aku dibuatnya. Selama itu mereka dirawat dan aku baru tahu sekarang. Yang benar saja.
“Aku harus menjenguk mereka.” Ujarku seraya bangkit dari bangkuku.
“Jangan.” Ujar Leeteuk hyung mencoba menghalangiku.
“Kenapa?” tanyaku.
“Jangan. Nanti pikiran mereka jadi bertambah banyak.” Cegah Leeteuk hyung.
“Kenapa? Kalian tetap boleh menjenguknya, lalu kenapa aku tidak? Aku sahabat mereka. Kenapa hanya kalian saja? Kenapa kalian menghalangi kami agar tidak bertemu? Lagipula, 1 bulan lagi aku kembali ke Seoul. Kita kan tak akan bisa terus menerus tinggal di Dorm SJ-M.” Ujarku sebal.
“Kami juga sahabat mereka hyung. Tak ada maksud kami untuk menghalangi hyung bertemu dengan mereka. Tenang sajalah.” Ujar Eunhyuk mencoba menenangkanku.
“Kalau bukan itu apa? Memutuskan persahabatan kami?” ujarku marah.
“Tidak. Aduh…. Bagaimana bisa hyung berfikir begitu? Pokoknya hyung tenang saja. Cepat atau lambat kami akan mempertemukan hyung dengan nya.” ujar Eunhyuk lagi yang sudah kehabisan kata-kata.
“Ah, sudahlah aku sudah muak. Tinggalkan aku sendiri. Sekarang juga.” Ujarku marah.
“Tapi, hyung belum makan.” Ujar Eunhyuk yang tampak takut padaku.
“Kubilang tinggalkan aku sendiri.” Ujarku seraya membentak mereka.
Mereka pun bergegas keluar dari dalam kamarku. Kamar Hankyung dan Siwon maksudku. Kubanting pintu kamarku. Tiba-tiba kurasakan pipiku begitu hangat. Aku menangis. Aku heran sekali dengan alasan mereka. Bukankah yang mereka butuhkan sekarang adalah aku. Pikiranku semakin buyar. Aku semakin cemas memikirkan mereka. Kupikirkan suatu taktik agar aku bisa bertemu dengan mereka. Dan akhirnya aku putuskan akan pergi dari dorm tepat tengah malam saat yang lain telah terlelap dan kembali saat dini hari. Aku pun mengambil ransel kecilku. Kumasukkan segala sesuatu yang kubutuhkan. Seperti dompet, obat pribadi, dan syal serta sarung tanganku. Sengaja aku tidak membawa ponsel agar mereka tidak menghubungiku. Kutidurkan Heebum dan kucing-kucing lainnya agar saat aku pergi mereka tidak berisik. Saat waktu menunjukan tengah malam. Aku berjalan mengendap-endap keluar dari kamar. Kulihat Sungmin tidur di sofa. Aku jadi merasa sedikit bersalah, gara-gara ulahku ia jadi tidur disofa. Aku pun membuka pintu secara perlahan dan menutupnya sepelan mungkin. Aku bergegas menaiki lift dan segera keluar dari apartemen ini. Aku mengeluarkan syal dan sarung tangannku dari dalam tasku. Kukenakan segera karena cuaca ternyata sangat dingin. Aku berjalan menjauhi dorm secepat mungkin. Kupegang pipiku yang dingin.
“Tampaknya aku melupakan sesuatu.” Ujarku dalam hati.
Benar saja. Aku lupa menanyakan dimana mereka dirawat.
“BABO..!!” batinku dalam hati.
Sekarang aku melangkah dengan arah yang tidak menentu. Bingung harus kemana dan bingung juga karena perut belum diisi. Tiba-tiba kurasakan kepalaku pening sekali. Kupegang kepalaku agar aku tidak merasakan rasa sakit. Namun yang kulakukan tidak memberi efek tertentu padaku. Tiba-tiba kurasakan pundakku menabrak pundak seseorang. Aku pun menoleh. Ternyata aku telah menabrak pundak salah seorang pria dari segerombolan pria yang sedang berjalan berlainan arah denganku. Pria itu tampak marah padaku.
“Apa-apaan kamu?” ujarnya marah padaku.
“Ah.. maaf.” Ujarku seraya memegang kepalaku yang pening.
“Kau berani sekali.” Ujar salah seorang teman pria yang kutabrak.
“Maaf, aku tak sengaja.” Ujarku memohon.
“Sudah! Hajar saja.” Ujar Salah satu pria.
“Apa? Yang benar saja.” Ujarku dari dalam hati.
Aku pun mencoba kabur. Namun kerah belakang bajuku ditarik.
“Mau kemana kau?” ujar salah seorang pria sambil memukul perutku yang kosong.
Kurasakan perutku mual sekali. Aku pun jatuh tersungkur. Mereka pun mulai menghajarku secara bertubi-tubi. Mereka memukul, menendang, dan menginjakku seakan aku ini sampah. Aku sudah tidak bisa melawan. Selain aku tak punya kekuatan, aku juga kalah dalam jumlah. Kepalaku semakin pening. Aku mencoba bertahan, namun salah seorang diantara mereka memukul kepalaku dengan sesuatu. Aku sudah tidak tahan. Sedikit demi sedikit namun pasti, kesadaranku menghilang.
***********************************************
“Dimana ini?” tanyaku dalam hati.
Kurasakan badanku diseret seseorang. Aku tak tahu siapa yang menyeretku. Aku tak dapat melihat. Yang kulihat hanyalah sekumpulan cahaya. Kudengar samar-samar seseorang berkata. Awalnya tidak jelas, namun sedikit demi sedikit suaranya terdengar jelas.
“Bertahanlah. Aku akan membawamu ke tempat yang aman.” Ujar suara itu.
Aku sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Tenggorokanku serasa dipaku. Aku hanya pasrah saja dengan segala sesuatu yang akan terjadi padaku. Aku mencoba bertahan. Namun aku benar-benar sudah tidak kuat.
****************************************
Aku pun membuka mataku. Aku pun mencoba untuk memegang kepalaku, namun tanganku ngilu sekali. Kulirik tanganku. Ternyata tanganku diperban. Aku pun mencoba menggoyangkan kepalaku. Perih. Aku pun memegang kepalaku dengan tangan yang lainnya. Diperban juga. Aku pun memandang langit-langit yang tak kukenal.
“Dimana ini?” pikirku dalam hati.
Aku pun mencoba untu terduduk. Walau sulit karena perutku sangat keram, aku berhasil juga duduk di tepi tempat tidur yang kutiduri. Kulihat sekeliling. Mencari jam. Ternyata waktu menunjukan pukul 7 pagi. Aku pun mencoba konsentrasi pada pandanganku. Tiba-tiba kudengar suara orang memasak dari luar ruang yang kutiduri. Aku pun mencoba bangkit walau sulit. Aku ingin tahu siapa yang membawaku ke tempat ini. Aku ingin berterimakasih karena sudah menyelamatkanku. Aku pun mencoba melangkah ke pintu dengan langkah yang diseret-seret. Aku pun membuka pintu. Kucoba bergerak ke dapur walau sulit. Kulihat disana ada seseorang yang sedang memasak. Seorang gadis. Wangi masakannya membuat perutku lapar tak karuan.
“Anneyong.” Ucapku pelan seraya memegang tenggorokanku yang terasa sangat kering.
Gadis itu tampak kaget. Ia pun menoleh. Cantik. Gadis berkebangsaan korea yang cantik.
“Ah, ya ampun!” ujarnya seraya mematikan kompor dan menghampiriku.
“Kenapa kau turun dari tempat tidur?” ujarnya seraya menuntunku kembali ke kamar.
Aku menurut saja.
“Kesehatanmu belum pulih. Tunggulah. Aku akan kembali dengan sarapan dan obat untukmu.” Ujarnya lembut seraya menidurkan aku kembali di tempat tidur.
“Gasahamnida.” Ujarku.
Ia menjawab dengan senyuman dan bergegas ke dapur lagi. Beberapa saat kemudian dia kembali dengan bubur ayam, susu, dan obat di atas tempayan.
“Makanlah. Kau terlihat menyedihkan.” Ujarnya seraya meletakkannya di pangkuanku.
Aku tersenyum. Aku pun menatap makanan itu dengan ragu. Ia duduk disebelahku. Ia pun mengambil mangkuk itu dan menyuapiku seakan tahu apa arti pandanganku ke makanan itu. Ia pun mulai menyuapiku. Aku sangat kelaparan. Namun makanan itu tak dapat kutelan. Setiap suap yang melalui tenggorokanku, tenggorokanku serasa tercabik-cabik. Perih.
“Pasti perih ya? Tahan ya sakitnya. Setelah makan, minum obatnya.” Ujarnya dengan wajah iba padaku.
Aku menjawabnya dengan senyuman. Setelah sekian lama, akhirnya makanan itu habis. Ia pun memberikanku obat lalu menidurkanku kembali. Ia pun membereskan makanan itu dari pangkuanku lalu pergi dan kembali lagi seraya berkata padaku.
“Istirahatlah disini. Aku pergi dahulu untuk mencarikanmu pakaian.” Ujarnya padaku dan menutup pintu kamar.
Kulihat sekeliling mencari tas ku. Tak ada. Aku pun berbaring kembali. Orang yang baik, pikirku. Apa ia tidak mengenaliku, pikirku lagi. Tapi kurasa itu bagus. Aku harap ia benar-benar tidak megetahui identitasku. Kalau sampai ia tahu dan kelepasan bicara pada media, bisa kacau. Tiba-tiba kurasakan perasaan yang nyaman. Begitu nyaman hingga aku terlelap.
********************************************
kudengar suara seseorang sedang bersenandung dan pintu yang dibuka. Aku pun membuka mataku. Kulihat gadis itu masuk sambil membawa baskom berisi air hangat.
“Ah, suaraku membangunkanmu ya?” ujarnya saat sadar aku terbangun.
Aku tersenyum menjawabnya. Ia pun mendudukanku di tempat tidur. Ia pun membuka bajuku. Aku diam saja. Ia pun memeras sebuah lap hangat yang ia ambil dari dalam baskom yang berisi air hangat itu dan mengusapkannya pada dadaku. Nyaman.
“Kau harus kubersihkan. Agar lukamu tidak infeksi. Kau belum boleh bergerak jadi tidak bisa membersihkan dirimu sendiri. Kesehatanmu belum pulih. Untuk sementara aku yang akan membersihkanmu sampai kau pulih total. Aku juga sudah membelikanmu baju ganti.” Ujarnya tersenyum padaku.
“Gasahamnida.” Ujarku dengan suara yang serak.
Ia hanya tersenyum padaku.
“Bagaimana aku bisa ada disini? Ini dimana?” tanyaku pada gadis itu.
“Ini rumahku. Aku menemukanmu dipinggir jalan. Kondisimu sangat mengkhawatirkan. Wajahmu dipenuhi memar dan darah. Aku menggotongmu kerumahku. Dan mengobatimu.” Ujarnya sambil membersihkan punggungku.
Aku pun mengangguk dan teringat dengan kejadian tadi malam. Menyedihkan. Aku pun melirik keluar kamar. Kulihat disana ada sebuah piano.
“Pianomu?” tanyaku padanya.
“Ah? Oh iya. Piano mendiang ayahku. Ia seorang musisi.” Ujarnya hangat.
Aku kaget.
“Kalau boleh tahu, siapa?” tanyaku.
“kenapa kau ingin tahu?” tanyanya yang membuatku kaget.
“Ah, a.. aku.. aku.. aku bekerja di SME. Siapa tahu aku kenal.” Ujarku gelagapan.
“Oh. Park Jong Bae. Itu nama ayahku.” Ujarnya.
Aku ingat dengan nama itu. Aku ingat pernah dibuatkan lagu oleh Jong Bae Ajusshi.
“Memang kau bekerja sebagai apa di SME?” tanyanya tiba-tiba.
“Uhm… aku staff disana.” Ujarku gugup.
“Oh, siapa namamu?” tanyanya.
“Heechul.” Ujarku.
“ups… kelepasan.” Ujarku dalam hati.