0

Hankyung’s Story [Part 3-The Answer]

Heechul POV

“Apa? Hankyung dan Siwon masuk rumah sakit? Bagaimana bisa?” ujarku tak percaya.

“Mentalnya lemah sehingga kesehatan mereka menurun.” Ujar Leeteuk hyung padaku.

“Mental lemah? Apa maksudnya?” ujarku semakin panik mengengarnya.

“Iya. Aduh, bagaimana menjelaskannya ya? Tenang dululah kau ini.” Ujar Leeteuk hyung yang tampak bingung.

“Mereka Cuma banyak pikiran saja kok. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.” Ujar Eunhyuk mencoba menenangkanku.

“Tak perlu khawatir kau bilang? Dua sahabatku masuk rumah sakit dan aku tak perlu khawatir? Lucu sekali?” ujarku sebal mendengar jawaban Eunhyuk.

“Memang tak ada yang perlu dikhawatirkan. Tenang sajalah.” Ujar Leeteuk hyung padaku.

“Aku tak mengerti dengan jalan fikir kalian. Sudah berapa lama mereka dirawat?” tanyaku.

“Hm… aku tak tahu pasti. 1 atau 2 bulan kurang lebih.” Ujar Leeteuk hyung mencoba santai.

Aku kaget bukan main dibuatnya.

“Selama itu? Selama itu mereka dirawat dan aku baru tau sekarang?” ujarku sedikit histeris.

“Ah, jangan histeris begitu. Kau harus tetap tenang.” Ujarnya sambil menyodorkan secangkir kopi padaku.

Aku pun tertunduk. Kaget sekali aku dibuatnya. Selama itu mereka dirawat dan aku baru tahu sekarang. Yang benar saja.

“Aku harus menjenguk mereka.” Ujarku seraya bangkit dari bangkuku.

“Jangan.” Ujar Leeteuk hyung mencoba menghalangiku.

“Kenapa?” tanyaku.

“Jangan. Nanti pikiran mereka jadi bertambah banyak.” Cegah Leeteuk hyung.

“Kenapa? Kalian tetap boleh menjenguknya, lalu kenapa aku tidak? Aku sahabat mereka. Kenapa hanya kalian saja? Kenapa kalian menghalangi kami agar tidak bertemu? Lagipula, 1 bulan lagi aku kembali ke Seoul. Kita kan tak akan bisa terus menerus tinggal di Dorm SJ-M.” Ujarku sebal.

“Kami juga sahabat mereka hyung. Tak ada maksud kami untuk menghalangi hyung bertemu dengan mereka. Tenang sajalah.” Ujar Eunhyuk mencoba menenangkanku.

“Kalau bukan itu apa? Memutuskan persahabatan kami?” ujarku marah.

“Tidak. Aduh…. Bagaimana bisa hyung berfikir begitu? Pokoknya hyung tenang saja. Cepat atau lambat kami akan mempertemukan hyung dengan nya.” ujar Eunhyuk lagi yang sudah kehabisan kata-kata.

“Ah, sudahlah aku sudah muak. Tinggalkan aku sendiri. Sekarang juga.” Ujarku marah.

“Tapi, hyung belum makan.” Ujar Eunhyuk yang tampak takut padaku.

“Kubilang tinggalkan aku sendiri.” Ujarku seraya membentak mereka.

Mereka pun bergegas keluar dari dalam kamarku. Kamar Hankyung dan Siwon maksudku. Kubanting pintu kamarku. Tiba-tiba kurasakan pipiku begitu hangat. Aku menangis. Aku heran sekali dengan alasan mereka. Bukankah yang mereka butuhkan sekarang adalah aku. Pikiranku semakin buyar. Aku semakin cemas memikirkan mereka. Kupikirkan suatu taktik agar aku bisa bertemu dengan mereka. Dan akhirnya aku putuskan akan pergi dari dorm tepat tengah malam saat yang lain telah terlelap dan kembali saat dini hari. Aku pun mengambil ransel kecilku. Kumasukkan segala sesuatu yang kubutuhkan. Seperti dompet, obat pribadi, dan syal serta sarung tanganku. Sengaja aku tidak membawa ponsel agar mereka tidak menghubungiku. Kutidurkan Heebum dan kucing-kucing lainnya agar saat aku pergi mereka tidak berisik. Saat waktu menunjukan tengah malam. Aku berjalan mengendap-endap keluar dari kamar. Kulihat Sungmin tidur di sofa. Aku jadi merasa sedikit bersalah, gara-gara ulahku ia jadi tidur disofa. Aku pun membuka pintu secara perlahan dan menutupnya sepelan mungkin. Aku bergegas menaiki lift dan segera keluar dari apartemen ini. Aku mengeluarkan syal dan sarung tangannku dari dalam tasku. Kukenakan segera karena cuaca ternyata sangat dingin. Aku berjalan menjauhi dorm secepat mungkin. Kupegang pipiku yang dingin.

Tampaknya aku melupakan sesuatu.” Ujarku dalam hati.

Benar saja. Aku lupa menanyakan dimana mereka dirawat.

BABO..!!” batinku dalam hati.

Sekarang aku melangkah dengan arah yang tidak menentu. Bingung harus kemana dan bingung juga karena perut belum diisi. Tiba-tiba kurasakan kepalaku pening sekali. Kupegang kepalaku agar aku tidak merasakan rasa sakit. Namun yang kulakukan tidak memberi efek tertentu padaku. Tiba-tiba kurasakan pundakku menabrak pundak seseorang. Aku pun menoleh. Ternyata aku telah menabrak pundak salah seorang pria dari segerombolan pria yang sedang berjalan berlainan arah denganku. Pria itu tampak marah padaku.

“Apa-apaan kamu?” ujarnya marah padaku.

“Ah.. maaf.” Ujarku seraya memegang kepalaku yang pening.

“Kau berani sekali.” Ujar salah seorang teman pria yang kutabrak.

“Maaf, aku tak sengaja.” Ujarku memohon.

“Sudah! Hajar saja.” Ujar Salah satu pria.

Apa? Yang benar saja.” Ujarku dari dalam hati.

Aku pun mencoba kabur. Namun kerah belakang bajuku ditarik.

“Mau kemana kau?” ujar salah seorang pria sambil memukul perutku yang kosong.

Kurasakan perutku mual sekali. Aku pun jatuh tersungkur. Mereka pun mulai menghajarku secara bertubi-tubi. Mereka memukul, menendang, dan menginjakku seakan aku ini sampah. Aku sudah tidak bisa melawan. Selain aku tak punya kekuatan, aku juga kalah dalam jumlah. Kepalaku semakin pening. Aku mencoba bertahan, namun salah seorang diantara mereka memukul kepalaku dengan sesuatu. Aku sudah tidak tahan. Sedikit demi sedikit namun pasti, kesadaranku menghilang.

***********************************************

“Dimana ini?” tanyaku dalam hati.

Kurasakan badanku diseret seseorang. Aku tak tahu siapa yang menyeretku. Aku tak dapat melihat. Yang kulihat hanyalah sekumpulan cahaya. Kudengar samar-samar seseorang berkata. Awalnya tidak jelas, namun sedikit demi sedikit suaranya terdengar jelas.

“Bertahanlah. Aku akan membawamu ke tempat yang aman.” Ujar suara itu.

Aku sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Tenggorokanku serasa dipaku. Aku hanya pasrah saja dengan segala sesuatu yang akan terjadi padaku. Aku mencoba bertahan. Namun aku benar-benar sudah tidak kuat.

****************************************

Aku pun membuka mataku. Aku pun mencoba untuk memegang kepalaku, namun tanganku ngilu sekali. Kulirik tanganku. Ternyata tanganku diperban. Aku pun mencoba menggoyangkan kepalaku. Perih. Aku pun memegang kepalaku dengan tangan yang lainnya. Diperban juga. Aku pun memandang langit-langit yang tak kukenal.

“Dimana ini?” pikirku dalam hati.

Aku pun mencoba untu terduduk. Walau sulit karena perutku sangat keram, aku berhasil juga duduk di tepi tempat tidur yang kutiduri. Kulihat sekeliling. Mencari jam. Ternyata waktu menunjukan pukul 7 pagi. Aku pun mencoba konsentrasi pada pandanganku. Tiba-tiba kudengar suara orang memasak dari luar ruang yang kutiduri. Aku pun mencoba bangkit walau sulit. Aku ingin tahu siapa yang membawaku ke tempat ini. Aku ingin berterimakasih karena sudah menyelamatkanku. Aku pun mencoba melangkah ke pintu dengan langkah yang diseret-seret. Aku pun membuka pintu. Kucoba bergerak ke dapur walau sulit. Kulihat disana ada seseorang yang sedang memasak. Seorang gadis. Wangi masakannya membuat perutku lapar tak karuan.

“Anneyong.” Ucapku pelan seraya memegang tenggorokanku yang terasa sangat kering.

Gadis itu tampak kaget. Ia pun menoleh. Cantik. Gadis berkebangsaan korea yang cantik.

“Ah, ya ampun!” ujarnya seraya mematikan kompor dan menghampiriku.

“Kenapa kau turun dari tempat tidur?” ujarnya seraya menuntunku kembali ke kamar.

Aku menurut saja.

“Kesehatanmu belum pulih. Tunggulah. Aku akan kembali dengan sarapan dan obat untukmu.” Ujarnya lembut seraya menidurkan aku kembali di tempat tidur.

“Gasahamnida.” Ujarku.

Ia menjawab dengan senyuman dan bergegas ke dapur lagi. Beberapa saat kemudian dia kembali dengan bubur ayam, susu, dan obat di atas tempayan.

“Makanlah. Kau terlihat menyedihkan.” Ujarnya seraya meletakkannya di pangkuanku.

Aku tersenyum. Aku pun menatap makanan itu dengan ragu. Ia duduk disebelahku. Ia pun mengambil mangkuk itu dan menyuapiku seakan tahu apa arti pandanganku ke makanan itu. Ia pun mulai menyuapiku. Aku sangat kelaparan. Namun makanan itu tak dapat kutelan. Setiap suap yang melalui tenggorokanku, tenggorokanku serasa tercabik-cabik. Perih.

“Pasti perih ya? Tahan ya sakitnya. Setelah makan, minum obatnya.” Ujarnya dengan wajah iba padaku.

Aku menjawabnya dengan senyuman. Setelah sekian lama, akhirnya makanan itu habis. Ia pun memberikanku obat lalu menidurkanku kembali. Ia pun membereskan makanan itu dari pangkuanku lalu pergi dan kembali lagi seraya berkata padaku.

“Istirahatlah disini. Aku pergi dahulu untuk mencarikanmu pakaian.” Ujarnya padaku dan menutup pintu kamar.

Kulihat sekeliling mencari tas ku. Tak ada. Aku pun berbaring kembali. Orang yang baik, pikirku. Apa ia tidak mengenaliku, pikirku lagi. Tapi kurasa itu bagus. Aku harap ia benar-benar tidak megetahui identitasku. Kalau sampai ia tahu dan kelepasan bicara pada media, bisa kacau. Tiba-tiba kurasakan perasaan yang nyaman. Begitu nyaman hingga aku terlelap.

********************************************

kudengar suara seseorang sedang bersenandung dan pintu yang dibuka. Aku pun membuka mataku. Kulihat gadis itu masuk sambil membawa baskom berisi air hangat.

“Ah, suaraku membangunkanmu ya?” ujarnya saat sadar aku terbangun.

Aku tersenyum menjawabnya. Ia pun mendudukanku di tempat tidur. Ia pun membuka bajuku. Aku diam saja. Ia pun memeras sebuah lap hangat yang ia ambil dari dalam baskom yang berisi air hangat itu dan mengusapkannya pada dadaku. Nyaman.

“Kau harus kubersihkan. Agar lukamu tidak infeksi. Kau belum boleh bergerak jadi tidak bisa membersihkan dirimu sendiri. Kesehatanmu belum pulih. Untuk sementara aku yang akan membersihkanmu sampai kau pulih total. Aku juga sudah membelikanmu baju ganti.” Ujarnya tersenyum padaku.

“Gasahamnida.” Ujarku dengan suara yang serak.

Ia hanya tersenyum padaku.

“Bagaimana aku bisa ada disini? Ini dimana?” tanyaku pada gadis itu.

“Ini rumahku. Aku menemukanmu dipinggir jalan. Kondisimu sangat mengkhawatirkan. Wajahmu dipenuhi memar dan darah. Aku menggotongmu kerumahku. Dan mengobatimu.” Ujarnya sambil membersihkan punggungku.

Aku pun mengangguk dan teringat dengan kejadian tadi malam. Menyedihkan. Aku pun melirik keluar kamar. Kulihat disana ada sebuah piano.

“Pianomu?” tanyaku padanya.

“Ah? Oh iya. Piano mendiang ayahku. Ia seorang musisi.” Ujarnya hangat.

Aku kaget.

“Kalau boleh tahu, siapa?” tanyaku.

“kenapa kau ingin tahu?” tanyanya yang membuatku kaget.

“Ah, a.. aku.. aku.. aku bekerja di SME. Siapa tahu aku kenal.” Ujarku gelagapan.

“Oh. Park Jong Bae. Itu nama ayahku.” Ujarnya.

Aku ingat dengan nama itu. Aku ingat pernah dibuatkan lagu oleh Jong Bae Ajusshi.

“Memang kau bekerja sebagai apa di SME?” tanyanya tiba-tiba.

“Uhm… aku staff disana.” Ujarku gugup.

“Oh, siapa namamu?” tanyanya.

“Heechul.” Ujarku.

ups… kelepasan.” Ujarku dalam hati.

Continue reading

0

Hankyung’s Story [Part 2]

Siwon POV

Kubuka pintu kamar 13. Tampak didalamnya Hankyung sedang menatap kosong kearah luar jendela. Kusimpan bubur ayam yang kubawa keatas meja. Kuperhatikan, tampaknya ia tak sadar akan kehadiranku.

“Hyung, aku datang.” Ujarku sambil menyentuh pundaknya.

“Ah, Siwonshii! Apa kabar.” Ujarnya sambil tersenyum tipis kearahku.

“Baik hyung. Aku selalu baik. Kurasa.” Ujarku pelan sambil mengajaknya berbaring lagi diatas tempat tidur.

“Apa maksudmu dengan kata ‘Kurasa’?” Tanya hyung tampak bingung.

“Ah, sudahlah hyung. Lupakan saja.” Ujarku sambil mengeluarkan bubur ayam dari dalam kantong plastik.

“Ah, kau ini. Selalu saja begitu. Selalu saja kau membuatku khawatir.” Ujarnya pelan sambil menggelengkan kepalanya.

Aku pun tersenyum.

“Hyung tak perlu khawatir padaku. Aku selalu baik-baik saja. Nah, sekarang hyung lihat apa yang kubawa. Bubur ayam spesial, sekarang hyung makan ya.” Ujarku sedikit bersemangat dengan maksud ia bersemangat juga.

“Aku tak berselera.” Ujarnya datar sambil memalingkan wajah dariku.

“Aduh, kalau hyung tidak makan nanti hyung sakit.” Ujarku sedikit kecewa.

“Aku tidak mau. Lagipula aku sudah sakit.” Ujarnya dingin sambil terus berpaling dariku.

“Ayolah hyung. Kata umma’nya hyung, hyung sudah tidak makan tiga hari ini. Bahkan diasuapi oleh umma’nya hyung pun tak mau, padahal hal yang paling hyung inginkan kan disuapi umma’nya hyung. Ayolah hyung, aku jauh-jauh kemari karena khawatir pada hyung.” ujarku sedih.

“Tapi aku tidak mau disuapi. Aku juga tak mau makan. Buat apa aku makan kalau aku tidak berselera?” ujarnya datar sehingga membuatku tak habis pikir.

“Tapi kalau hyung tak makan, bagaimana hyung bisa sembuh? Apa hyung mau mati?” ujarku kesal namun kucoba untuk menahannya.

“Mungkin.” Ujarnya dingin seraya menutup wajahnya dengan selimut.

Aku pun menghela nafas panjang. Tak mengerti dengan jalan fikir hyung’ku yang satu ini. Aku tahu ia banyak masalah, tapi bukan berarti ia tidak makan sama sekali. Kutarik selimutnya secara perlahan.

“Hyung, tatap aku.” ujarku tegas.

Hankyung hyung pun menatapku dengan malas.

“Tampaknya ada sesuatu yang hyung pikirkan. Coba ceritakan padaku. Siapa tahu aku bisa membantu.” Ujarku berusaha bernada bersahabat

Hankyung hyung menatapku lekat-lekat. Aku menunggunya sampai ia mulai bicara. Ia pun menarik nafas panjang.

“Eunlan.” Ujarnya lirih sekali.

“Maaf? Hyung bilang apa tadi?” ujarku tanpa maksud untuk menyindir hyung, tapi memang suara hyung tak terdengar.

“Aku mau bertemu Eunlan.” Ujarnya dengan tatapan kosong.

Aku kaget bukan main. Kutatap hyung dengan tatapan tak mengerti.

“Ya ampun hyung. kurasa kita sudah selesai dengan masalah ini.” Ujarku sedikit kesal.

“Tapi aku tak bisa berhenti memikirkannya. Aku sudah terlanjur jatuh hati padanya. Jangan paksa aku melupakannya karena aku tak bisa.” Ujarnya sambil memelas seakan mau menangis dan kurasa ia sudah menangis.

“Tapi kita sudah setuju kalau Eunlan itu tak ada. Kau sendiri juga bilang kalau Eunlan tak ada. Bukan begitu?” ujarku yang tampaknya dibuat stress oleh Hankyung hyung.

“Iya, aku tahu. Tapi bayang-bayangnya selau ada. Ingatan bersamanya saat itu begitu melekat didalam benakku. Dia begitu nyata.” Ujarnya bersikeras.

“Tapi Eunlan tak ada.” Ujarku.

“Ada. Eunlan ada.” Ujarnya marah.

“Dia tak pernah ada.” Ujarku marah juga.

Hankyung hyung pun menatapku. Tampak sekali ia marah padaku. Ia pun menarik nafas panjang.

“Kau tak mengerti. Dan kurasa kau tidak akan mengerti. Kau tidak merasakan perasaanku saat itu. Saat dimana aku menghabiskan waktu dengannya. Memang bukti tentang kehadirannya tak ada, namun saat ia menyentuhku, memainkan piano, saat tanganku menyentuh pinggangnya, bahkan saat aku megalungkan kalung itu dan membisikan kata saranghae di telinganya, itu semua begitu nyata. Sangat nyata. Dan kau tak akan pernah tau rasanya itu.” Ujarnya mencoba tenang.

“Iya, aku tidak akan pernah tahu rasanya karena aku ini bukan hyung. kau tahu? Aku sudah lelah untuk meyakinkanmu bahwa Eunlan itu tak ada. Tapi hyung selalu…. Ah, sudahlah! Sebaiknya hyung makan.” Ujarku sambil mengambil kotak berisi bubur ayam yang tampaknya sudah dingin.

“Aku tidak mau.” Ujarnya sambil memalingkan wajahnya dariku.

Aku kesal bukan main namun tak tahu harus berbuat apa. Tiba-tiba pintu dibuka, dari luar pun muncul Leeteuk hyung, Yesung hyung, dan Sungmin hyung. Aku lupa kalau mereka akan datang kemari. Menyusulku.

“Anneyong hasseo.” Ujar mereka bertiga serempak.

Leeteuk hyung pun menaruh bungkusan diatas meja. Yesung hyung dan Sungmin hyung pun menghampiri Hankyung hyung ke sisi tempat tidur. Aku benar-benar tak bisa bicara lagi. Aku pun terduduk di sofa dekat aku berdiri.

“Loh? Hyung mukanya merah? Habis menangis?” ujara Sungmin hyung tiba-tiba dengan kagetnya.

Mulai lagi pembicaraan yang akan berlangsung lama.” Ujarku dalam hati.

Suasana langsung sunyi seketika. Leeteuk hyung, Yesung Hyung dan Sungmin hyung menatapku. Kuisyaratkan bahwa aku tak tahu apa-apa.

“Kalian berantem lagi?” Tanya Leeteuk.

Tak ada yang menjawab dari aku ataupun Hankyung hyung.

“Oh, tuhan. Ayolah..!!! Apa yang kalian permasalahkan sekarang? Eunlan lagi?” Tanya Leeteuk hyung yang ternyata sudah tahu keadaannnya.

“Dia tak mau percaya padaku hyung.” ujar Hankyung hyung.

Aku benar-benar kaget dan malas berdebat lagi.

“Tapi dia memang tak ada.” Ujarku kesal.

“Tapi dia ada. Kalian percaya padaku kan?” Tanya Hankyung hyung begitu memelas.

“Iya. Kami percaya padamu.” Ujar Yesung hyung berusaha menenangkan.

“Oh, yang benar saja.” Ujarku kesal sambil keluar dari ruangan itu dan membanting pintunya.

*******************************

Leeteuk hyung pun menyusulku dan menyuruhku untuk berhenti.

“Siwon, tunggu! Berhentilah dulu. Mari kita bicara!” ujarnya sambil setengah berlari.

“Ada apa lagi?” Tanyaku kesal sambil memberhentikan langkahku.

“Ayolah Siwonshii, pahami kondisinya. Lagipula dia kan soulmate’mu!” ujarnya.

“Tapi ia harus diingatkan. Ia tak bisa terus menerus hidup dengan bayang-bayang Eunlan. Dia harus menerima kenyataan bahwa Eunlan itu tak pernah ada.” Ujarku tegas.

“Tapi semua itu butuh proses. Ada waktunya.” Ujarnya sambil menyentuh pundakku.

“Oh, sudahlah.” Ujarku sambil menepis tangannya dan pergi meninggalkan.

Aku kesal sekali. Padahal maksudku kan baik. Aku sayang pada hyung. aku tak mau ia hidup dalam bayang-bayang Eunlan. Kulangkahkan kakiku ke basement. Kearah mobilku. Namun tiba-tiba tanganku ditarik seseorang.

“Maaf? Kau siwon.” Ujarnya.

Aku pun berbalik.

“Oh, syukurlah. Ternyata benar kau. Kau habis menjenguk Hankyung?” ujar umma Hankyung itu.

“Ah, ajumni! Anneyong hasseo.” Ujarku sesopan mungkin.

“Siapa yang menemani Hankyungshii?” Tanya ajumni.

“Ada Leeteuk hyung, Yesung Hyung dan Sungmin hyung. Sekarang aku mau pamit pulang ajumni.” ujarku.

“Tunggu dulu, bisakah kau kerumah kami sekarang? Sebentar lagi adik Hankyungshii pulang. Tak ada orang dirumah.” Ujarnya memohon padaku.

Aku kaget.

“Adik? Setahuku Hyung tak punya adik.” Ujarku heran.

Continue reading

0

Hankyung’s Story [Part 1]

“Ya, saudara – saudara! Sidang hari ini kita tutup.” Ujar hakim seraya memukulkan palunya.

“Ah…. Akhirnya.” Ucapku lirih.

Akhirnya aku bisa terbebas juga dari dalam ruang ini. Ruang yang pengap dan suasana yang tidak aku suka. Kurentangkan tubuhku karena tubuhku terasa sangat kaku. Kupandang ruang disekelilingku. Begitu penuh dengan orang-orang. Entah apa yang mereka lakukan disini. Namun tiba-tiba pengacaraku menghampiriku sambil mengulurkan tangannya.

“Gamsahamnida Hankyung.” Ujar Mr. Park sambil menjabat tanganku.

“Ye. Cheonmaneyo.” Ujarku sambil menerima jabat tangannya dan berlalu pergi karena aku sudah benar-benar malas disini.

Sementara pengacaraku sibuk dengan urusannya sendiri. Aku pun berusaha membuat diriku sibuk dengan berbagai hal. Tapi, saat mataku tertuju pada satu titik, kulihat pria itu tersenyum miris penuh kemenangan.

“Kau paham sekarang Hankyung.” Ujar Lee So Man dengan senyum yang penuh dengan kemenangan.

“Disini aku belum kalah.” Ujarku dingin dan berlalu keluar dari ruang itu melalui pintu belakang karena aku tahu, dipintu utama sudah menunggu banyak pers. Aku sudah muak.

Kuhirup udara sebanyak yang aku mampu. Mencoba bernapas lega sampai akhirnya ponselku berdering.

“Yeoboseyo?” ujarku.

“Hankyung hyung? Ini siwonshii.” Balas orang diseberang sana.

“Siwonshii? Ah, apa kabar? Kenapa kau bisa menghubungiku?” tanyaku antusias sekali.

“Aish… tenanglah hyung. Sekarang aku ada kedai minum xxxxx. , bisa kau kesini sekarang? Waktuku tak banyak.” Ujar siwon buru-buru.

“Tentu saja. Tunggu aku.” Ujarku sambil menutup ponselku dan bergegas pergi.

************************************

“Siwonshii..!!!” ujarku setengah berteriak setelah melihat Siwon. Dongsaengku.

Entah mengapa aku bisa tahu itu Siwon, padahal ia memakai jaket tebal, syal, kacamata, dan topi hangat. Orang biasa tentu tak akan tahu itu siwon karena itu adalah penyamaran sempurna yang biasa aku dan member lain lakukan. Mungkin karena ikatan kami begitu kuat. Aku bisa merasakan ia Siwon. Dongsaengku. Dan setelah kupanggil, tampak Siwon sedikit panik dan memberi isyarat untuk tenang. Aku pun menutup mulutku dan duduk di sebelahnya.

“Siwonshii, bagaimana kau bisa disini?” ujarku sedikit bersemangat.

“Itu tidak penting. Bagaimana sidangnya?” Tanya Siwon sambil meneguk minumannya.

“Entahlah, aku tak tahu.” Ujarku sambil memesan minuman yang sama dengan Siwon.

Siwon tampak kaget.

“Maksudmu apa hyung?” Tanya Siwon sambil mengerjitkan keningnya.

“Entahlah. Aku tidak memperhatikan. Aku sudah terlalu malas.” Ujarku malas-malasan.

“Kau gila hyung. Ini sidang penting.” Ujar Siwon serius.

“Ah… sudahlah. Semua akan berjalan baik-baik saja.” Ujarku sambil meneguk minumanku dengan santainya.

“Bagaimana bisa hyung bicara seperti ini? Semua tidak akan berjalan baik-baik saja. Bagaimana dengan suju? Masa depan suju? Apakah hyung masih bisa bilang kalau semua akan baik-baik saja? Berhentilah bersifat bahwa segalanya akan berjalan baik-baik saja. Kau seakan-akan tak peduli dengan Suju.” ujar Siwon sedikit membentakku.

Aku tersentak kaget. Seakan–akan ada kilat besar yang menyambarku. Aku tertunduk. Mencoba berfikir keras.

“Bagaimana kabar personil lain?” ujarku pelan.

“Jangan alihkan pertanyaan hyung.” Ujar Siwon.

Aku tertunduk lagi.

“Bukan begitu. Aku… cuma sudah lelah dengan semua ini. Begitu banyak masalah dan aku rasa aku tak sanggup untuk menopangnya lagi. Aku sudah muak. Dan aku tak mau memikirkan sidang ini bukan karena aku tak peduli lagi pada suju. Jika kau berfikir begitu, maka kau salah. Aku hanya sudah letih, terlalu banyak tekanan yang masuk dalam hidupku. Kesehatanku menurun. Kadang aku sering berhalusinasi. Dengankan aku Siwon, Suju itu seakan sudah membatin dalam ragaku. Setiap malam aku tidak tenang. Bayang-bayang kalian selalu ada. Jujur itu menggangguku. Tapi itu bukan berarti aku tidak sayang pada kalian. Tiap kali kalian konser, aku hanya bisa menonton dari bangku belakang. Jujur itu menyiksa. Ditambah dengan sidang ini. Jika aku memikirkan sidang ini, aku bisa gila. Lagipula siapa yang bilang aku tidak memikirkan sidang ini? Aku kan cuma bilang tidak memperhatikan. Tapi aku tetap mendengarkan.” Ujarku miris namun tetap berusaha tenang.

Siwon pun terdiam dan meneguk minumannya sekaligus.

“Kenapa kau menuntutnya?” Tanya Siwon sambil menerawang gelasnya.

“Entahlah. Mungkin saat itu aku kalap. Lagi pula harus ada yang mengingatkan orang itu. Kuharap orang itu sadar.” Ujarku pelan.

“Hah… mustahil! Orang itu berhati batu. Hyung ingat dengan apa yang dilakukannya pada DBSK?” ujar Siwon kesal.

“Ingat. Justru itu yang menjadi motivasiku.” Ujarku berusaha setenang mungkin.

“Aku tak mengerti padamu hyung.” Ujar Siwon datar.

“Aku pun begitu.” Ujarku sambil menegak minumanku langsung.

“Suju tak berarti lagi tanpamu. Suju M tak akan pernah ada tanpa hadirnya kau hyung.” Ujar Siwon sambil memandangiku.

“Jangan begitu. Selama ini tak ada Kibum pun suju tetap ada kan? Begitu pula dengan aku.” Ujarku sampil menepuk punggung Siwon.

“Tapi Kibum tidak keluar dari Suju. Ia tetap bagian dari Suju.” Ujar siwon sedikit emosi.

Aku menarik nafas panjang.

“Dulu, sewaktu di dorm, aku selau menangis diam-diam. Rindu pada ibuku. Saat sakit, hatiku selalu pedih jika harus menerima keadaan bahwa ibuku jauh dariku. Saat aku dirawat di rumah sakit, aku selalu iri melihat seorang anak kecil berobat ditemani ibunya. Begitu besar rasa ini untuk memeluk ibuku. Saat ibuku ulang tahun, aku selalu prihatin karena tak bisa bertemu ibuku. Bahkan untuk mengucapkan selamat pun tak bisa. Selalu sehari setelah beliau ulang tahun. Itupun ditelepon. Singkat sekali. Itu semua karena padatnya jadwal yang ada. Tapi sekarang aku begitu puas, aku bebas memeluk dan mengecup kening ibuku. Menyiapkan sarapan untuk beliau. Sekarang aku bisa membalas kasih sayang secara langsung seperti yang dulu ia lakukan padaku. Walau tetap ada bagian yang hilang dihatiku.” Ujarku sambil berusaha menahan air mata ini agar tak keluar.

Kulihat siwon tertunduk. Aku tak tahu kenapa. Tampaknya ia sedang memikirkan sesuatu.

“Hyung, aku selalu mendukungmu.” Ujarnya.

Aku tersenyum padanya.

“Maaf, aku harus pulang sekarang.” Ujar siwon sambil bangkit berdiri.

“Ah.. Siwonshii. Kita baru saja bertemu. Ada apa?” Ujarku sedikit kecewa.

“Maaf. Ada yang harus kupeluk dan kukecup keningnya dirumah.” Ujar Siwon. Datar.

**********************

“Aku pulang.” Ujarku sambil menaruh mantelku didalam lemari.

“Ah.. hyung sudah pulang. Mau makan apa?” ujar adikku.

“Tidak usah. Umma mana? Tanyaku.

“Sedang jaga toko.” Ujar adikku sambil merapikan mantelku.

Aku pun mengangguk dan berlalu meninggalkan rumah. Ke taman didekat rumahku. Sudah lama aku tidak kesini. Bertahun – tahun tidak kupijakkan kakiku disini. Ditempat ini. Tempat aku menghabiskan sepanjang sore sambil menunggu ibuku menyiapkan makan malam. Kurasakan angin yang berhembus dengan begitu sejuk. Tidak ada yang seperti ini saat aku di Seoul waktu itu. Segalanya terasa baru padahal aku pernah menempati tempat ini bertahun-tahun. Kumanjakan mataku dengan pemandangan disini. Namun, saat sedang asyik, mataku menangkap hadirnya seseorang sesorang. Seseorang yang begitu kukenal dengan baik.

Ino..?” ujarku dalam hati setelah yakin bahwa itu itu adalah teman masa kecilku. Cinta sejatiku.

Saat itu juga muncul rasa bahagia dan harapan. Walau aku sudah tidak menemuinya selama bertahun lamanya, ia tetap cinta pertamaku. Apalagi sampai saat ini aku masih tetap mencintainya. Dan perasaanku sama besarnya seperti dulu, tak pernah padam, selalu sama untuknya. Hatiku begitu berbunga-bunga. Muncul rasa percaya diri dan harapan – harapan yang sempat hilang dalam jiwaku. Aku pun bergegas mendekatinya dan menyapanya. Namun, langkahku terhenti saat melihat ada orang lain yang menghampirinya dan mengecup bibirnya. Hatiku miris sekali melihatnya. Seakan jantungku ada yang menusuk-nusuk. Aku pun mencoba bernafas panjang namun tak bisa.

Aneh… padahal aku sudah lama tidak melihatnya tapi mengapa dadaku begitu sakit?” ujarku dalam hati seraya memegang dadaku sendiri.

Aku hanya bisa menahan rasa sakit ini. Aku berlari kembali ke rumah. Masuk ke dalam kamar lalu membanting pintu serta menguncinya.

******************************

Aku menjerit. Aku memukul dan menendang segala sesuatu yang ada disekitarku. Mencaci maki. Berusaha melepas segala penat yang aku rasakan. Aku merasa semakin terbebani. Begitu banyak masalah hari ini. Perih. Aku pun berusaha melupakan Ino dari dalam benakku tapi tak bisa. Aku Continue reading

0

Nothing Better [One Shot]

Cast :

–      Kim Kibum (SHINee)

–      Choi Shin Kyu

–      Kim Jong Hyun (SHINee)

–      Victoria (F(x))

(Choi Shin Kyu POV)

Hari ini seperti biasanya aku menatapnya dari jauh. Memperhatikannya. Kim Jonghyun. Pria yang kusukai sejak lama. Sekali lagi kuarahkan kamera analogku padanya. Kupotret ia untuk yang kesekian kalinya. Memandang wajahnya tak pernah membuatku bosan. Aku sangat menyukainya. Menyukainya saat ia mengeluarkan i-podnya. Menyukainya saat ia menikmati nada demi nada yang mengalir melalui headsetnya. Menyukai ia yang memejamkan matanya sambil merasakan lembutnya hembusan angin. Hari ini pun ia melakukannya lagi. Setiap hari jam 4, ia selalu ada ditaman. Tersenyum, mengobrol dengan siapa saja yang menyapanya. Ah… dunia pasti indah sekali bila aku bisa dekat dengannya.

“Ya…” teriak seseorang yang mengagetkanku.

“Mwo? Oemona! Kibum-ah.. kau mengagetkanku tahu!” ujarku seraya mengelus dadaku.

“Ya..! Apa yang kau lakukan disini? Aku mencarimu tahu.” Ujarnya kesal.

Kibum pun celingukan. Matanya mencari sesuatu. Saat melihat Jonghyun, ia menghela nafas panjang dan mengacak rambutku.

“Aigo..!! Dasar kau stalker.” Ujarnya.

“I’m not stalker.” Ujarku gugup.

“Lalu apa? Kenapa sih, kau senang sekali mengumpulkan foto Jonghyun? Kenapa tidak mengumpulkan foto Victoria sesekali?” Ujarnya dengan wajah yang ditekuk.

“Buat apa aku mengambil foto Victoria? Kenapa tak kau ambil sendiri saja fotonya? Jangan pasang wajah itu kepadaku.” Ujarku padanya.

“Cih.. pelit sekali. Kau tahu aku tak punya bakat fotografi sepertimu. Dasar kau menyebalkan.” Ujarnya seraya melipat tangan didada.

“Mianhae. Ayo! Kau mencariku untuk pergi ke tempat bimbingan kan? Ayo pergi sekarang!” ajakku.

Ia mengikutiku beranjak dari tempatku tadi. Untuk sampai ke tempat bimbingan, dari taman hanya memerlukan waktu 10 menit berjalan. Aku dan Kibum berjalan dengan hening. Seperti biasa, bila kita habis perang mulut. Ia pasti enggan bicara denganku. Dasar pemarah.

“Aku heran padamu. Yeoja sepertimu. Yeoja yang berambut pendek berantakan, dingin seperti lemari es, berkulit sawo matang, selalu memakai pakaian kelam dan pastinya menyebalkan sepertimu bisa menyukai seorang namja.” Ujarnya memulai pembicaraan.

“Ya..!, Aku tak menyebalkan.” Belaku.

“Memang begitu kan?” ujarnya.

“Kau sendiri. Namja sepertimu. Namja yang manja, centil, bergaya seperti noona-noona, selalu memakai pakaian cerah melebihi matahari, dan yang pastinya pemarah, bisa juga menyukai seorang yeoja seperti Victoria.” Ujarku tak mau kalah.

“Aa… ani..ani..ani..aniyo! Aku tak mau dengar. Lalalalala. Lululululu.” Ujarnya seraya menutup kedua telinganya.

Aku pun menghela nafas panjang. Selalu begitu. Selalu tak mau kalah. Dasar boneka porselen. Aku dan Kibum pun segera memasuki tempat bimbingan. Tiba-tiba kibum meregut tanganku. Aku meringis kesakitan. Kulihat matanya yang tampak gugup. Aku pun mencari sesuatu yang membuatku Kibum gugup seperti ini. Biasanya yang bisa melakukan hal itu hanya Victoria. Benar saja. Ia sedang duduk menunggu bel masuk.

“Aigo… manis sekali.” Serunya lirih.

“Aya.. Lepaskan tanganku.” Ujarku padanya.

“Diamlah dulu. Aku tak mau ia melihatku dalam keadaan seperti ini.” Ujarnya.

“Sesange! Kau kan namja. Bagaimana kau mau dekat dengannya bila sifatmu seperti ini? Dasar pengecut.” Ujarku padanya.

“Sudahlah. Kau diam saja. Jangan menyebalkan begitu.” Ujarnya.

Aku pun pasrah saja. Seketika bel pun berbunyi. Anak-anak bergegas memasuki ruangan begitupun dengan Victoria. Aku pun mulai melangkah menuju kelas. Namun langkahku tertahan karena ulah Kibum. Aku pun menoleh kesal.

“Ya… kau kenapa lagi sih?” ujarku kesal.

“Entahlah. Tampaknya aku tak mau masuk kedalam.” Ujarnya gugup.

“Kau bagaimana sih? Bel kan sudah berbunyi.” Ujarku.

“Ah… kita bolos saja ya?” rayunya.

“Mwo? Ko begitu sih. Aku tak mau.” Tolakku.

“Aigo kau ini. Ayolah, kita kan teman.” Ujarnya.

“Kau ini! Selalu saja begini. Pokonya aku tak mau.” Sergahku.

“Ayolah… ayo..ayo..ayo..ayolah…” rajuknya.

Ia terus ribut seraya meregut tanganku. Aku sudah tak bisa apa-apa lagi. Akhirnya aku hanya pasrah diseret olehnya keluar dari tempat bimbingan.

**************************************************

“Ja…! Bangun!” Ujar seseorang membangunkan tidurku.

“Kibum-ah? Apa yang kau lakukan dikamarku?” ujarku yang masih setengah sadar.

“Bangunlah. Aku lapar.” Ujarnya manja.

“Aya… minta saja pada umma. Aku ngantuk. Aku mau tidur.” Ujarku.

“Ajumna tidak ada. Ayolah, kau bangun.” Rajuknya.

“Aigo.. kau masak saja sendiri! Kau tahu aku tak bisa memasak.” Ujarku seraya menenggelamkan diriku kedalam selimut.

Continue reading